Tak terasa ajang Festival Dalang Bocah dan Festival Dalang Muda Tingkat Nasional 2018 sudah memasuki hari ketiga. Kian dekat sudah dengan penghujung Pagelaran. Sabtu, 22 September adalah hari terakhir pertunjukan di Panggung Putro Pendowo, lokasi Festival Dalang Bocah dihelat. Sementara untuk Festival Dalang Muda yang menggunakan Candi Bentar, masih ada tiga penampil lagi yang akan unjuk kebolehan di keesokan harinya, sebelum juri bersidang dan mengumumkan pemenang di malam hari penutupan, Minggu 23 September.

Keseruan acara memberikan kesan, waktu serasa berjalan begitu cepat. Padahal jumlah peserta kali ini bertambah dari tahun-tahun sebelumnya. Terhitung 12 Peserta Dalang Bocah dan 10 peserta Dalang Muda ambil bagian pada hari ketiga. Semuanya menyajikan penampilan memukau. Babon yang digunakan untuk lakon cerita pun tidak semata memakai Mahabharata dan Ramayana sebagai pakem. Ada juga yang menggunakan Kitab Menak, sebagaimana ditampilkan Dalang Muda Ratnanto Adhi Putra Wicaksono dari Jakarta yang membawakan Wayang Golek Menak dengan lakon Adaninggar dan Dalang Bocah Ragil Jalu Pangestu dari Yogyakarta yang juga membawakan Wayang Golek Menak dengan lakon Maktal Tobat.

Sajian Wayang dengan menampilkan varian gagrag  dari berbagai daerah ini seakan memperjelas ke-Bhineka-an Indonesia. Ya, Wayang memang memiliki nilai yang bisa dibilang sangat apresiatif terhadap keberagaman. Dengan tetap mengacu terhadap konsep dasarnya, Wayang membuka ruang bagi masing-masing Dalang untuk mengeksplorasi idenya dalam mengolah lakon. Sehingga cerita yang dilahirkan pun tidak hanya statis berputar pada jalan cerita yang itu-itu saja. Fragmen-fragmen cerita yang dikupas berdasarkan babonnya tersebut juga memiliki fleksibilitas yang kerap mengambil konteks peristiwa kekinian sebagai tema. Sebuah narasi klasik yang tak pernah basi. Nilainya tetap kontekstual di tengah dinamika zaman yang terus berputar. Di sinilah letak keistimewaan Wayang sesungguhnya.

Jika Festival Dalang Bocah dan Festival Dalang Muda Tingkat Nasional 2018 ini mengambil tema Dalang Go Digital, jelas bukan tanpa alasan. Tengok saja rentetan wawancara, baik dengan peserta, juri, pembina, pengurus, juga para pemerhati lainnya. Jika ditarik sebuah benang merah, semuanya mengambil tema besar antara Wayang sebagai nilai dan situasi kekinian sebagai konteksnya. Artinya, Wayang sebagai sebuah teks/nilai tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks zaman di mana dia berada. Termasuk pada era milenial yang kita pijak saat ini.

Wayang, dengan sekian nilai Adiluhung nan luhur yang terkandung di dalamnya, harus senantiasa membumi dengan konteks zaman. Jika dahulu Wali Songo dengan lugas menggunakan Wayang sebagai media penyebaran Agama untuk lebih mampu menjangkau publik, kenapa pada saat ini Wayang tidak diletakkan pada konteks situasinya? Bukankah semangat untuk menyebarkan sesuatu yang luhur selayaknya bisa lebih fleksibel (baca: bijak) dalam memilih jalan untuk disebarkan? Bukankah dengan mengambil tema  Go Digital ini berarti Wayang seharusnya lebih fokus menyasar generasi muda sebagai target? Bukankah gulir zaman dari dulu hingga kini memang banyak ditentukan oleh pola gerak anak muda? Rentetan tanya tersebut pun sesungguhnya bukan hal baru. Rentetan itu hanyalah peneguhan siklus perubahan yang juga kerap dikumandangkan melalui pelbagai pertunjukan Wayang yang disajikan berbagai Dalang.

Alun gamelan di hari ketiga ini serasa lebih tajam merasuk nurani. Kalau memang Wayang merupakan barang klasik yang bagi sebagian dianggap usang, mengapa juga sampai kini pertunjukan Wayang masih tetap eksis? Ya, masih eksis. Dan tidak akan pernah mati seperti ungkap Ki Manteb saat diwawancara tim media center PEPADI Pusat di sela acara. Apalagi FDB dan FDM Tingkat Nasional ini menegaskan betapa Wayang bukan hanya diterima oleh khalayak umum, tapi juga menjadikan kelompok usia dini sebagai penampil utamanya.

Hanya saja, Wayang butuh generasi yang mampu menjembatani keluhuran nilainya dalam bawah sadar generasi saat ini yang dideterminasi oleh pengaruh internet. Ibarat sebuah produk, Wayang merupakan produk yang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya. Tapi bagaimanapun juga, manifestasi sebuah produk adalah sejauhmana ia mampu menjangkau dan menaklukkan pasar. Lalu, bagaimana Wayang membangun ‘salurannya’ sendiri di tengah revolusi digital yang tak dapat ditampik ini? (Marthin Sinaga)